Namaku Boneng, pria jelek pengangguran yang sedang ingin menebus dosaku
terdahulu. Beberapa bulan sudah aku mengintai Ninis, aku rasa kini ia
sudah bisa hidup normal, kembali bersekolah seperti biasanya. Senyum
manis nan cerianya pun kini telah aku lihat dari jauh, walaupun aku
belum berani mengambil jarak lebih dekat lagi. Aku rasa malam ini
terakhir aku membuntutinya, aku yakin dia sudah mandiri. Dan aku bisa
melepaskannya. Tidak ada yang perlu aku khawatirkan lagi, saatnya besok
aku bisa menata kembali kehidupanku.
***
Jam 13.30 seharusnya Ninis sudah pulang sekolah, aku menintip dari
tembok belakang rumah yang di samping sekolah, memantau ke adaan Ninis
setiap hari nya. Ku lihat Ninis keluar dari gerbang sekolah, seperti
biasa ia selalu berjalan kaki pulang karena rumahnya tidak begitu jauh
dari sekolah. “Sampai jumpa besok ya”, kata Ninis kepada teman-temannya,
ia nampak ceria dan mulai meninggalkan sekolah itu. Ku buntuti dia dari
belakang, seperti biasa, untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.
Aku takut gengnya Heru atau pun gengnya Seifer masih akan mengganggunya.
Ninis berhenti sejenak, ku lihat seperti mencurigakan, ia melihat dengan
serius dari hp nya, entah ada yang sms atau bbm. Ninis nampak gelisah,
aku coba memperhatikannya lebih dekat, Ninis mulai kembali berjalan,
namun ke arah yang lain. Tidak seperti biasanya, Ninis berjalan melalui
arah lain. Terus ku ikuti hingga aku tahu itu bukan lah arah pulang ke
rumahnya. Ninis masuk ke sebuah gedung kosong yang pengerjaannya tidak
selesai. Aku terus mengikutinya, entah ada tujuan apa Ninis ke sini.
Naik ke lantai dua, ku coba perhatikan sekitar, sangatlah sepi, namun
gedung yang penuh dengan coretan cat semprot ini sepertinya sering
digunakan para pengangguran untuk ngumpul. Di lantai dua, ada seorang
gadis menunggu, ku intip dari tangga, tidak begitu jelas, dia sendirian
menunggu Ninis tiba. Aku coba lebih fokus untuk mendengarkan pembicaraan
mereka.
***
“Jadi lu ya yang namanya Ninis?!”, tanya gadis itu dengan nada yang
sedikit keras. “Iya! Jadi apa mau mu?!”, balas Ninis. Gadis itu
samar-samar ku lihat sepertinya aku mengenalnya. “Hahaha, mau apa?
Seharusnya gue yang tanya lu mau apa?!!!”, bentak gadis itu. “Emang kamu
siapa?! Dapat nomor aku dari mana?”, tanya Ninis. “Lu ga perlu tahu!!”,
teriak gadis itu lalu menjambak rambut Ninis. Gadis itu menarik rambut
Ninis hingga Ninis jatuh tersungkur. “ADUUHHHH”, teriak Ninis kesakitan
karena tersungkur di lantai semen yang masih kasar dan penuh debu itu.
Debu semen langsung beterbangan.
Gadis itu tidak mau tahu, ia lalu menendang perut Ninis sambil
berteriak, “Gue MILA!!!”, ia menegaskan. Aku baru teringat dengan gadis
yang masih samar ku lihat itu, dia adalah Mila, tapi buat apa dia
menganggu Ninis? Aku bingung apa aku harus menolongnya atau tidak, apa
itu urusan pribadi atau apa? Aku tidak lah tahu, atau apa ini ada
hubungannya dengan Heru? Aku terpaksa menunggu hingga terjadi sesuatu
yang lebih buruk aku baru bisa turun tangan. Aku takut Ninis masih
trauma melihatku, sebaiknya aku bersabar untuk menolongnya.
“Lu pikir gue ga tau apa yang lu lakuin?!”, teriak Mila lalu kembali
menendang Ninis yang masih tersungkur. Debu beterbangan, Ninis tak
sempat berbicara, mencium udara penuh debu itu saja membuat Ninis
terbatuk-batuk, tidak ada udara segar ia dapatkan. Seragam sekolahnya
pun kotor karena debu. “Gue Mila, pacarnya Heru!”, ia berteriak keras ke
arah Ninis. Mila menarik rambut Ninis memaksanya untuk bangkit. “Tadi
yang gue kirim, itu foto lu kan sedang tidur dengan Heru?!”, tanya Mila.
“Beraninya lu deketi cowok gue, dasar pelacur murahan!!!”, Mila
terlihat sangat marah, ia lalu menampak Ninis hingga kembali terjatuh.
“Bu.. bukan...”, Ninis mencoba menjelaskan, namun ia kembali ditendang
Mila yang sudah dipuncak amarah. Kulihat keadaan Ninis sudah sungguh
miris, sekujur tubuhnya penuh debu semen, hingga rambutnya pun sudah
memutih ditutupi debu yang tebal dari lantai. Tasnya terlempar hingga
terbuka, dan buku-bukunya pun berserakan di lantai yang penuh debu.
Aku tidak bisa tinggal diam, sebaiknya aku menolongnya segera. Aku coba
bangkit, namun tiba-tiba ‘BUK’ sesuatu benda yang keras menghantam
belakang leherku. Pandanganku langsung gelap, sepertinya aku telah
dilumpuhkan dari arah belakang oleh seseorang.
***
Kepalaku pusing, aku coba membuka mataku ketika aku mulai siuman,
pandanganku masih kabur. Kulihat sepertinya aku masih di gedung yang
sama. Debu beterbangan, namun di depan sana ku lihat ramai sekali, pas
di tengah ruangan, entah apa yang terjadi. Aku coba bangkit, “Aduh”, aku
terjatuh, ternyata aku sedang terikat di sebuah kursi besi berkarat.
Aku tersungkur tidak bisa berdiri, ku coba melihat keadaan, debu-debu
beterbangan membuat pandanganku tidak begitu jelas.
Ternyata ada banyak pria besar di sana mengerumuni Ninis. Mila masih ada
di sana, dia masih menjambak rambut Ninis yang sedang terlutut tepat di
depannya. “Pelacur seperti lu harus diberi pelajaran!”, kata Mila.
“Biar lu ga seenaknya mengganggu hubungan orang!!”, katanya lalu kembali
menampar Ninis. Melihat begitu, aku pun coba berteriak, “MILA!”,
teriakku keras. Para rombongan itu pun langsung melihat ke arahku. “Heru
yang menganiaya dia!!”, teriakku mencoba menjelaskan. “Oh, sang
pahlawan kesiangan sudah sadar rupanya”, kata Mila. “Lu itu
pengkhianat!”, lanjut Mila. “Gue dah dengar cerita Heru, lu yang membuat
mereka kalah balapan kan?!”, teriak Mila.
Aku bingung harus bicara apa, aku coba berontak agar ikatanku lepas
namun sia-sia saja. Kulihat arah Ninis, sungguh malang, seragam putihnya
sudah menguning karena debu, kancingnya lepas hingga nampak belahan
dadanya, rambutnya tertutup debu hingga nampak sedikit abu-abu, matanya
sayup-sayup menahan rasa sakit di pipi dan perutnya yang sedari tadi
ditampar dan ditendang Mila. “Beri pelajaran sama pengkhianat itu!”,
perintah Mila. Satu pria besar lalu mendekatiku, aku tidak mengenalnya,
mereka bukanlah geng Heru, sepertinya mereka preman bayaran yang disewa
Mila untuk menyiksa Ninis. ‘BUK’, pria itu menendang perutku, sakit
sekali. “ARGH!”, rintihku kesakitan, seperti mau muntah. Debu
beterbangan, itulah yang kuhirup karena kepalaku tidak bisa ku angkat
dari lantai. Pria itu menginjak kepalaku dan mengancamku, “Berisik
sekali lagi, lu dan cewek itu bakal kita bunuh!”. Mendengar itu aku
hanya bisa terdiam, mereka ramai sekali, aku tak mungkin bisa kabur dari
sini, ada sekitaran belasan orang di sana, dan badan mereka
besar-besar.
***
Mereka lalu mendorong-dorong tubuh Ninis, dari satu pria ke pria lain.
Mereka mempermainkannya seperti boneka, didorong sana sini, sambil
meremas pantat dan susunya. Puas membuat Ninis kelelahan, Mila lalu
meminta mereka menghentikannya. “Kita perlu pertunjukan yang lebih
menarik”, kata Mila. “Biasanya pecun bisa menari striptis”, katanya.
Para pria itu lalu berdiri membentuk lingkaran, Ninis di tengah sana
berdiri sambil menangis, “Tolong... Saya tidak bersalah...”, katanya.
“Sekarang lu menari sambil buka baju!”, perintah Mila. Ninis ketakutan,
ia memegang kuat seragamnya yang kancingnya terlepas. Ninis sudah nampak
kumal karena belepotan debu.
“Ayo lah, atau mau kita-kita yang bukaian?”, kata salah satu pria lalu
disambut tawa pria lainnya. Ninis ketakutan, ia tidak lah mahir dalam
menari, sehingga ia sedikit canggung. Ninis terpaksa sedikit
menggoyangkan badannya, ia takut ada hal lebih buruk terjadi, sambil
menahan seragamnya, ia menggoyangkan pinggulnya, coba menari tanpa
beraturan. Kasihan sekali, Ninis menangis tak karuan.
***
“Wah, kok dari tadi Cuma joget tak jelas?”, singgung salah satu pria
yang nampak bosan melihat Ninis menari. “Iya, kok belum lu copot seragam
lu?”, balas pria lainnya. “Woi, pecun, lu masih mau hidup gak?!”, ancam
Mila dengan nada yang kasar. Ninis ketakutan, ia pun mulai membuka
seragamnya dengan sangat terpaksa. “Wuih, gitu dong, dasar pecun
murahan!”, ejek para pria yang menonton Ninis menari.
Beberapa menit Ninis menari, ia sepertinya sudah sangat lelah,
seragamnya pun sudah sedikit-sedikit ia lucuti hingga sisa bra dan
celana dalamnya yang ia tidak berani tanggali. “Woi, cepetan buka
semua!”, teriak-teriak para pria tak sabar melihat kemolekan tubuh
Ninis. Ninis tidak menghiraukan mereka, ia menari pelan sambil menangis.
Para pria yang sudah nafsu menonton Ninis menari striptis pun sudah
membuka resleting celana mereka dan mengeluarkan penisnya dari sana.
Mereka mengocok penis mereka sendiri sambil menonton Ninis menari.
Mila terlihat jijik memandang para pria mengeluarkan penis. “Kalian
lanjutin deh, gue muak liat barang gituan, siksa aja sesuka kalian!”,
pesan Mila lalu meninggalkan rombongan itu. “MILA!”, teriakku. Ia tidak
menghiraukan teriakanku, Mila terus turun ke lantai bawah. “Heru yang
memperkosa Ninis!!!!”, teriakku menjelaskan. Namun Mila sudah hilang, ia
sudah turun ke sana dan mungkin telah meninggalkan gedung.
***
Lalu seorang pria mendekatiku. “Tolong lepasin aku”, pintaku. Pria itu
mengangkat kursiku, ia membenarkan posisiku. “Aku bayar berapa yang kamu
mau”, kataku, walaupun aku tahu aku tidak punya uang lagi, namun aku
coba bernegosiasi. Pria brewokan ini tidak mengubrisku, setelah ia
membenarkan dudukku, ia lalu tersenyum lalu berkata, “Nikmatilah
tontonan ini”, katanya mengolokku. “Sial! Bajingan kalian!!!”, teriakku.
Pria itu meninggalkanku dan kembali ke rombongan. Mereka kembali maksa
Ninis untuk menari striptis.
“Ayo, lanjut!”, teriak para pria itu. “Kita bunuh saja kalau dia tak
mau!!!”, ancam pria lain sambil berteriak-teriak. Mereka mulai gaduh
berteriak-teriak, Ninis terpaksa melanjutkan menarinya, kini ia harus
menanggalkan branya. Malang sekali nasib Ninis, kini ia harus dikerjai
para preman ini.
“Hahahaha, susunya masih kecil”, olok mereka. Ninis tidak
menghiraukannya, ia hanya menari dan berharap mereka melepaskannya
setelah ia selesai menari.
Cukup lama Ninis menari dengan telanjang dada, mereka sudah cukup bosan.
Sambil terus menocok penis mereka, mereka berteriak, “Lepaskan tuh
celana dalam!”, “Iya, lepasin!”, “Lepasin!!!”, teriak mereka sangat
gaduh sekali. Ninis menangis dan menghentikan tariannya. Ia ketakutan,
dengan membuka celana, para pria itu akan semakin nafsu, itu akan
mengundang mereka bertindak lebih, Ninis takut sekali akan diperkosa
segerombolan orang tak dikenalnya itu. “Tolong lepasin saya bang...”,
pintanya. Permintaan Ninis tak terdengar karena sorak suara berteriak,
“Buka!!!”, lebih keras.
Ninis takut dia akan diperkosa, cepat-cepat tanpa pikir panjang, ia coba
berlari, mecari celah di antaara kerumunan itu menuju ke arah tangga.
Sial, itu sama saja Ninis cari mati, ia salah mengambil langkah.
Pelarian Ninis sia-sia, ia tertangkap para pria itu. “Sudah kami bilang,
kalau lu ga mau buka sendiri, sini biar gue yang bukain!!!”, ancamnya
lalu kembali menarik Ninis ke tengah gerombolan. Para pria itu lalu
menarik celana dalam Ninis hingga lepas. “Wah!” mereka bersorak.
“Jembutnya masih dikit”, mereka pun lalu tertawa terbahak-bahak mengolok
Ninis. Mereka meraba susu dan vagina Ninis kemudian mereka dorong lagi
ke tengah, “Ayo menari lagi!!!”, mereka terus bersorak meminta Ninis
menari tanpa mengenakan sehelai pakaianpun. Nini malu, ia menutupi susu
dan vaginanya dengan tangannya, “Tolong bang... Ninis bukan pelacur..”,
Ninis memohon.
“Sial! Cengeng banget nih perek!!!”, teriak satu pria lalu ke depan dan
menjambak rambutnya Ninis. “Lu dikasih hati malah minta jantung!”,
katanya lalu menarik rambut Ninis dan mendorongnya hingga terjatuh.
“Kalau lu tak mau menari, sini sepongkan kita-kita!”, perintah pria itu.
Semua pria bergirangan, mereka menghentikan kocokan mereka sambil
berteriak, “Ayo, kulum penis kita!!!”, teriak mereka. Ninis kembali
menangis, “Saya joget saja bang...”, katanya. “Taek! Lu sudah dapat
tugas lain!!!”, pria itu marah lalu menarika rambut Ninis dan memaksanya
mendekati rombongan pria itu yang berdiri melingkar. “Lu sekarang
sepong satu per satu!”, perintah pria itu.
Ninis pun dengan sangat terpaksa mengulum penis pria yang ada di
hadapannya. Pria samping kiri kanan juga tidak sabar menunggu giliran,
mereka terus menatap wajah Ninis yang menangis menyepongkan teman
mereka. Ninis melihat seluruh pria, ada belasan pria berdiri
mengelilinginya, dan ia harus menyepong mereka sambil berkeliling.
Aku tidak tega melihatnya, aku sedikit terbatuk-batuk karena debu yang
tadi kuhirup. Ninis pun dnegan sangat terpaksa mengulum penis mereka
satu persatu. Ada yang mungkin bau pesing, ada yang jorok mungkin
mengidap penyakit, dan yang sudah pasti ada beberapa yang kotor karena
debu. Ninis sudah menyepong dua pria hingga berejakulasi, masih belasan
orang yang harus ia sepong dengan keadaan bugil seperti itu. “Hebat
sepongannya bro”, ejek pria yang sudah selesai disepong Ninis. Dua pria
itu menjauhi Ninis, mereka menuju jendela tanpa kaca untuk mengambil
udara segar. Mereka menyalakan rokok sambil memandang ke arah luar.
***
Ikatan di tubuhku sangatlah kuat, aku tidak bisa bergerak, aku coba
berontak namun sia-sia, tidak ada peluang untuk melepaskan ikatan di
kursi ini. Aku tidak tahan melihat Ninis menangis sedih karena
diperlakukan begitu, Ninis harus memuaskan nafsu para pria bejat itu.
“Hebat!”, teriak para preman yang menunggu sepongan Ninis. Mereka
mengantri menunggu Ninis selesai menyepongi teman-teman mereka. “Cepetan
woi! Gue dah ngaceng ga tahan ne...”, teriak-teriak mereka yang belum
mendapatkan giliran.
***
Beberapa pria sudah selesai disepong, mereka bergabung dengan pria yang
sedang asyik merokok. Sambil menatap keluar arah jendela, mereka
menyalakan rokok dan berbincang-bincang. “Wah, langit gelap nih”, kata
pria yang menyulut rokok itu, dan temannya pun membalas, “Iya bro,
nampaknya bakal hujan ne”. Beberpa pria itu terlihat risih melihat
langit yang mulai mendung. “Ga bisa beraksi lah sore ini”, kata mereka,
sepertinya ada kerjaan lain yang mesti mereka kerjakan lagi, mungkin
menjambret atau merampok. “Moga aja ga hujan, sama-sama aja kita
berangkat, tungguin yang lain selesai dulu”, jawab teman yang lain.
Syukurlah, selesai ini para preman akan segera pergi. Ku lihat Ninis
masih harus menyepong enam orang. Semoga cepat selesai. Ninis sudah
pasrah, matanya hanya tertutup tanpa mau melihat apa yang ada di depan
wajahnya. Nampak lusuh, penuh debu, tubuh bugilnya kotor sekali.
***
Belum selesai menyepong dua pria terakhir, tiba-tiba hujan lebat tiba.
Suara geledek begitu nyaring, angin begitu kuat hingga masuk ke gedung
dan menerpa debu-debu hingga beterbangan. Para preman itu terlhat panik,
debu menutupi pandangan kami, hujan lebat di luar sana mengagetkan
mereka. Suara-suara gesekan seng pun terdengar, seakan seng gedung ini
akan beterbangan terkena tiupan angin. Ninis, ini kesempatan kamu kabur,
mereka sedang tidak memperhatikanmu. “Sial, mata gue masuk debu”,
teriak para preman.
Aku masih belum bisa melihat jelas, debu masih cukup tebal, hingga angin
meniup keluar. Ruangan sudah cukup nampak, beberapa pria masih
berkerumunan mengucek mata mereka sambil maki-maki, ada pula yang sibuk
memukul-mukul bajunya agar bersih dari debu. Namun, di mana Ninis, aku
tidak melihatnya, dia tidak ada di tengah kerumunan itu. Sial, pakaian
seragam dan tas nya masih ada di lantai, apa Ninis melarikan diri dengan
kondisi bugil?
“Woi, mana anak itu?!”, teriak salah satu pria yang sadar karena belum
mendapat giliran disepong. “Sial!!!”, ia marah lalu berlari turun ke
arah tangga. Namun teman-temannya malah tidak menghiraukannya. “Biar
saja dia cari sendiri”, kata mereka, “Hujan lebat di luar sana”, sahut
mereka, “Kerjaan gagal, masa kita masih harus basah kuyub”, mereka pun
melanjutkan kembali merokok.
Entah Ninis berhasil kabur atau tidak, namun semoga saja ia bisa lari
dari sini. “Woi, lepasin gue!!!”, teriakku. “Gue ga ada hubungannya
dengan ini!!!”, lanjutku berteriak. Mereka lalu memandang ke arahku.
Satu pria bertanya ke temannya, “Tuh cunguk bagus kita apain?”, “Biarin
aja di sini ampe mampus, hahahaha”, olok mereka tertawa-tawa. “Udah,
lepasin aja... Kasihan entar beneran mampus pula, kotor neh markas
kita... hahaha”, jawab satunya. Lalu satu pria pun datang melepaskan
ikatanku, “Lu boleh pergi, tapi kalau lu cerita, kami ga segan-segan
bunuh lu!”, dia mengancamku sambil melepaskan ikatanku.
Aku tidak berani menatap mereka, aku segera turun tangga untuk
meninggalkan gedung ini. Aku harus cepat turun, semoga bisa menemukan
Ninis secepatnya. Hujan terlalu lebat, aku harus keluar dari pintu pagar
yang ditutup seng bekas itu untuk mencapai jalan raya. Namun aku pasti
bakal basah kuyub. Apakah Ninis sudah berhasil lari ke arah sana? Aku
coba berpikir kritis, aku coba susuri gedung ini dahulu, siapa tahu aku
bisa menemukan Ninis yang bersembunyi, sambil menunggu hujan reda, aku
berjalan hingga ke areal belakang gedung.
***
Sial, kutemukan di belakang sana, Ninis sedang diperkosa pria yang tadi
mencarinya. Ninis menangis di tengah hujan, suara minta tolongnya tidak
terdengar sama sekali karena derasnya hujan. Pria itu masih berpakaian,
namun dia tidak pusing dengan hujan deras yang menerpanya, ia terus
menggenjot Ninis di bawah guyuran hujan. Di tanah kuning itu, becek,
mereka seperti sedang bermain di lumpur. Apa aku harus menolong Ninis?
Ini kesempatanku, mumpung hanya seorang pria di sini, aku bisa
melawannya. “Woi!”, teriakku. “Lepasin dia!!!”, aku berkejar di bawah
guyuran hujan dan langsung menendang pria itu.
Pria itu tersungkur, Ninis segera bangkit dan mencari tempat teduh, ia
terlihat menggigil karena kedinginan. Pria itu marah, “Sialan!”, ia
bangkit dan menyerangku. Kami terlibat baku hantam di bawah guyuran
hujan. Pria ini kuat sekali, aku beberapa kali mendapat pukulan. Ku
ambil kayu bekas yang berada di dekatku untuk ku jadikan senjata, ku
hantamkan ke mukanya, dan pria itu akhirnya ambruk.
Segera aku tinggalkan pria yang jatuh dalam genangan air itu, entah
masih hidup atau mati, aku berbalik dan menuju arah Ninis. Namun sial,
Ninis menangis di dekapan para pria. Pria yang bergerombolan di atas
ternyata sudah turun ke bawah. “Lu tetap di sana!”, teriak pria yang
mendekap Ninis yang basah kuyub. “Hukumannya, lu harus diguyur hujan
sambil melihat kami!”, lanjutnya. “Buka pakaianmu atau gue bunuh nih
cewek!!”, ancam pria itu. Aku pun terpaksa membuka semua pakaianku. Aku
kedinginan tanpa satu helai pakaianpun. Sedang kan gerombolan itu masih
berteduh sambil menikmati Ninis.
***
Aku terduduk di genangan air, pantatku menyentuh tanah, aku sudah tidak
peduli lagi dengan kotornya genangan air yang seperti lumpur ini. Ku
dekap tubuhku sendiri karena kedinginan, namun penisku sedikit mengeras
melihat Ninis sedang diraba di tengah sana. Belasan pria sedang
merabanya, mereka butuh kehangatan di tengah hujan yang lebat ini. Ku
lihat pria yang terkapar di sampingku ini tidak bergerak sama sekali, ku
balikkan tubuhnya agar hidungnya tidak tertutup genangan air, aku takut
dia mati karena pukulanku tadi.
***
“Ninis ga kuat... Sakiiittt....”, Ninis merintih kesakitan ketika ada
pria yang menusukkan jarinya ke vagina Ninis. Pria lain meremas dada
Ninis dengan kuat, bagi mereka seperti balon yang ingin diremas pecah.
Sadis sekali, ada pria yang bahkan mencoba menggigit puting susu Ninis
dengan kencang dan hampir putus. Ninis didorong sana sini, ada yang
meluapkan emosi seperti menampar dan memukulnya. Hingga Ninis pingsan
dan tak sadarkan diri.
Para pria itu tertawa terbahak-bahak, mereka menahan tubuh Ninis yang
lunglai agar tidak jatuh. Pria lain mulai membuka pakaian mereka. Ninis
dibopong ke arah salah satu pria yang duluan membuka pakaiannya. Dan
pria itu pun mulai mengarahkan penisnya ke arah vagina Ninis yang masih
tidak sadarkan diri.
Pria itu terus menggenjotnya dengan posisi berdiri, sedangkan Ninis
terbaring ditahan para pria lain. “Asyik... Sempit woi!!”, teriak pria
itu merasakan nikmat menggenjot tubuh Ninis. Ninis masih basah kuyub,
tubuhnya nampak segar, tidak heran para pria itu meminta jatah lebih
daripada harus menunggu hujan lebat ini reda dengan sia-sia. Belasan
pria menunggu giliran dengan keadaan sudah bugil.
***
Sial, pria di sampingku masih tidak bergerak. Ku coba sentuh dadanya,
ternyata tidak ada detak jantung. Ku sentuh lubang hidungnya, dan
astaga, tidak ada hembusan nafas lagi. Aku semakin ketakutan, gemetaran,
merinding, dan kedinginan di tengah guyuran hujan lebat, sambil
ditemani mayat tepat berada di sampingku.
***
Pria yang tadi menggenjot Ninis sudah selesai, sepertinya ia sudah
menyemprotkan sperma di dalam vagina Ninis. Pria lain segera mengambil
posisi untuk menggenjot Ninis. Mereka bergiliran menyetubuhi Ninis yang
tak berdaya itu. Bagaikan piala bergilir, Ninis diperkosa satu persatu
preman itu, sangat biadab, mereka pun menyemprotkan sperma mereka di
dalam vagina Ninis.
Ninis masih tidak sadarkan diri, para pria yang menunggu giliran masih
membopongnya, rambut panjang ninis terurai ke bawah. Malang, tubuh
mungilnya terlihat memar memar karena siksaan. Aku tidak bisa melihatnya
dalam posisi itu, walaupun penisku mengeras, namun aku tidak bisa
mengocoknya, hingga penisku menciut dengan sendirinya akibat dinginnya
hujan yang menyelimutiku.
Ninis, sungguh besar kemalanganmu, baru saja kulihat ceriamu untuk
menggapai masa depanmu dengan kembali hidup normal, kini engkau kembali
dinodai. Maafkan aku Nis, andai aku bisa menolongmu, namun apadaya, aku
pecundang yang penakut.
***
Berjam-jam, mereka tidak usai menyetubuhi Ninis. Dengan berbagai gaya
mereka terus mengerjai Ninis. Bahkan yang sudah mendapat giliran pun
kembali mengambil antrian, mereka seakan tidak puas-puasnya menggenjot
Ninis.
Aku sudah kedinginan, tidak tahan, untunglah hujan mulai mereda. Kulihat
pria-pria itu pun menyadarinya, mereka mulai meninggalkan Ninis, mereka
berpakaian kembali dan membiarkan Ninis tergeletak begitu saja di
lantai.
Satu pria berjalan ke arahku, “ASTAGA!!!”, teriaknya ketika memeriksa
keadaan pria yang ada di sampingku. “WOI, SI BACOK MOKAD!!!”, teriaknya
kepada kawanannya, kemudian ia berlari seperti ketakutan entah ke mana.
Para pria lain terlihat kaget, mereka pucat, dan dengan cepat mereka
meninggalkan lokasi ini. Aku coba mengangkat tubuhku, aku coba berjalan
ke arah Ninis, namun kakiku kesemutan, dan tak mampu melangkah, hingga
aku kembali tersungkur tak berdaya.
***
Aku terbangun di sebuah ruangan putih, seorang pria berpakaian seragam
polisi ada di sampingku, katanya aku ada di rumah sakit. Aku akan
diperiksa sebagai saksi atas kasus pembunuhan preman, dan sekaligus
pemerkosaan Ninis. Aku belum bisa menjelaskan, namun paling tidak aku
tahu Ninis sudah selamat.
Mungkin ada goncangan besar menerpa Ninis. Kata polisi mungkin Ninis
akan dimasukkan ke panti rehabilitasi untuk memulihkan keadaannya.
Setelah sembuh aku akan menceritakan semua yang aku tahu di kejadian
itu, semoga aku mendapat keringan setelah membunuh preman yang pantas
mati itu.
TAMAT
0 comments:
Post a Comment