Kutuntun tangan lembut itu menyusuri jalan setapak yang sunyi senyap.
Sesekali kupandangi wajah gadis yang walaupun nampak sangat lelah dan
kesakitan, namun masih memancarkan kecantikannya; kecantikan yang belum
pernah aku temukan semasa enam puluh tahun aku menghembuskan napas.
Langkahnya terseok-seok, mungkin karena kakinya yang telanjang itu
kesakitan saat menginjak jalan yang berkerikil. Dari balik sarung yang
membungkus tubuhnya, kuintip belahan dadanya yang sangat merangsang
siapapun yang melihatnya. Ingin rasanya kusetubuhi gadis itu sekali
lagi, namun aku sudah terlanjur berjanji membawanya ke kantor polisi di
desa terdekat.
Terbukti bukan hanya aku yang mengagumi kecantikan gadis itu. Pak polisi
yang membukakan pintu kantornya pun terperanjat saat melihat seorang
kakek tua yang menuntun sesosok bidadari yang hampir telanjang bulat,
hanya dibungkus sarung yang menutupi sebagan payudaranya, sampai
beberapa senti di bawah selangkangannya.
“Ada apa ini Kek?” tanya sang polisi dengan muka yang kebingungan;
antara dikuasai nafsu dan rasa simpati terhadap sosok bidadari malang di
depannya.
“Ini Pak, tadi saya temukan anak ini tergantung di pohon dekat rumah.
Kasihan dia, Pak, kayaknya korban pemerkosaan dan penganiayaan.”
“Siapa nama kamu, nak?”
“Harumi…” ujar gadis itu lirih. Jujur selama semalaman kunikmati gadis
itu, aku belum mengetahui namanya. Sekarang aku tahu mengapa ia begitu
mirip gadis Jepang seperti yang di film-film porno – karena ia memang
seorang gadis Jepang! Gila, mimpi apa aku semalam bisa meniduri gadis
Jepang yang cantik seperti Harumi? Walaupun selama tinggal di kota aku
sering “jajan”, belum pernah kutemukan gadis yang sesempurna Harumi ini.
Aku sedikit menyesal mengantarkan Harumi ke kantor polisi. Harusnya aku
simpan gadis ini di rumahku sebagai budak seks pribadiku. Namun kupikir
hal itu akan terlalu beresiko.
“Silakan duduk, Neng. Ambil minuman kalau kamu haus,” kata pak polisi
“Sekarang kamu bisa ceritakan apa yang terjadi sama kamu?” lanjutnya.
Harumi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Matanya yang sipit menatap
tembok dengan tatapan kosong. Aku yakin dia sangat trauma atas apa yang
menimpa dirinya sebelum aku menemukan dia di hutan dalam keadaan yang
mengenaskan. Aku juga berharap agar dia tidak menceritakan kalau akulah
yang terakhir menikmati tubuhnya, toh aku sudah memaksa dia berjanji
untuk tidak melaporkan perbuatanku asalkan kuantar dia ke kantor polisi.
Keheningan yang panjang itu terganggu saat kami mendengar suara ketukan
di pintu. Seorang lelaki muda – mungkin seumuran dengan Harumi – masuk
ke dalam ruangan itu setelah pak polisi membukakan pintunya.
“Pak, saya mau mencari teman saya yang hilang. Kemarin saat… Loh,
Harumi, kamu kok bisa di sini??” tanya lelaki itu dengan wajah panik.
Tangisan Harumi langsung meledak saat ia menatap lelaki itu. “Itu
orangnya Pak! Dia yang memperkosa saya!” teriak Harumi sambil
menunjuk-nunjuk orang tersebut.
Lelaki itu hendak kabur, namun aku dan pak polisi segera menghalangi langkahnya dan menyeret dia ke kursi di sebelah Harumi.
“Siapa nama kamu?!” tanya sang polisi.
“Dimas, Pak. Pak sumpah bukan saya, saya bisa ceritain semua.”
“Wah, saya tau dari mana nih mana yang benar. Kita harus periksa kalian bertiga dulu.”
“Pak, anak itu bawa tas. Coba diperiksa tasnya, siapa tau ada barang
bukti,” ujarku menyela percakapan mereka. Aku takut kalau diperiksa,
nanti ketahuan kalau aku juga telah memperkosa Harumi. Maka itu aku
berusaha untuk membuat Dimas sebagai sosok yang bersalah. Kubuka
resleting tasnya, lalu kusibak isinya. Isinya hanya ada dompet, botol
minum, dan sebuah buku notes. Kukeluarkan buku itu, lalu kubaca isinya
bersama dengan pak polisi. Dari situlah aku mengetahui apa yang telah
menimpa Harumi sebelum aku berjumpa dengannya. Bodoh sekali anak ini,
pikirku dalam hati, masak ia menuliskan semua yang ia lakukan di buku,
kan bisa jadi barang bukti. Entahlah, mungkin ia ingin menjadi penulis
cerita seks.
Kami melangkah turun dari mobil
van yang membawa kami dari Jakarta hingga ke tempat kamping ini.
Kutunggu sampai mobil van kedua sampai beberapa menit kemudian. Saat
pintunya terbuka, turunlah sang bidadari kampus itu dengan senyumnya
yang mempesona. Aku benar-benar tidak percaya, mau-maunya gadis lugu ini
kita ajak ikut ke tempat ini, padalah kami belum kenal terlalu lama
dengannya. Semuanya berawal dari ide Devi, juara kedua lomba Miss
University 2014. Ia berencana untuk balas dendam kepada Harumi yang
berhasil menjadi juara pertama kontes kecantikan tersebut. Katanya sih
Harumi curang karena menjilat para juri, namun kalau aku jadi juri pun
aku pasti memenangkan Harumi tanpa harus dijilat, kecuali dia mau
“menjilat” penisku, tentu aku tidak menolak hehe.. Devi mengajak
teman-temannya dan beberapa cowok yang terkenal berandal di kampus –
termasuk aku – untuk mengerjai Harumi. Kapan lagi aku bisa mengerjai
cewek paling cantik di kampus, pikirku. Maka akupun tidak akan
melewatkan kesempatan ini.
Aku yakin Harumi sama sekali tidak curiga saat Devi dan teman-teman
ceweknya mengajak Harumi untuk ngobrol bareng di dalam pondok yang kami
sewa itu. Sementara mereka mengobrol di kamar, kami para cowok mulai
merencanakan apa saja yang akan kami lakukan terhadap Harumi.
“Pokoknya gue yang dapet duluan ya! Gue kan yang paling tua!” kata Deni, si mahasiswa abadi yang gak lulus-lulus.
“Terserah lu bro, kita mah ngalah sama orang tua,” ujar Roy, disambut dengan tawa anak-anak lainnya.
“Pokoknya gue mau ngerasain pantatnya yang montok nih, penasaran selama ini gue liatnya ketutupan celana melulu,” sahut Evan.
“Lu kebiasaan maen sama cowok sih, demennya dari belakang!”
“Ah yang ini kan beda bro, pantat Jepang nih, kapan lagi bisa ngerasain coy!”
“Diem lah lu semua, udah paling enak jadi gue yang merawanin, udah lama nih gue gak ngerasain memek perawan!”
“Salah lu tiap kali pacaran sama lonte melulu”
Percakapan ngelantur kami dihentikan saat cewek-cewek itu mulai keluar
dari dalam pondok. Mereka menggandeng tangan Harumi untuk berjalan
menuju ke pepohonan yang ada di depan pondok.
“Harumi, kita mau kasih hadiah spesial nih buat kamu yang udah menang Miss University,” ujar Devi.
“Wihh apaan nih hadiahnya?” jawab Harumi.
“Kamu tutup mata dulu dong, biar surprise nih,” sahut Mita.
Saat Harumi sedang menutup matanya, aku dan Deni langsung memegang kedua
tangan Harumi, lalu menyandarkan tubuh Harumi ke sebatang pohon. Dengan
cepat kami melingkarkan tangan Harumi ke belakang pohon itu, lalu
mengikatnya dengan tali yang kami siapkan.
“Apa-apaan nih, gue mau diapain?” tanya Harumi dengan polosnya.
“Kita mau kasih lo pelajaran, goblok!” teriak Mita, dengan nada yang sangat bertentangan dengan caranya bicara sebelumnya.
“Lo kira lo pantes jadi ratu kecantikan di kampus? Lo kan orang asing,
bangsa penjajah pula!” tambah Devi, sambil tangannya menampar pipi
Harumi.
“Ouch! Heh denger ya, walaupun bokap gue Chinese dan nyokap gue orang
Jepang, gue tetep orang Indonesia yah! Gue lahir di Indonesia, tumbuh di
sini, bahkan ngomong Jepang atau Mandarin gue gak bisa! Gue
kan…mmmphh!” ceramah Harumi terputus saat kami membekap mulutnya dengan
sapu tangan.
“Berisik lo jablay, kita gak mau denger khotbah lo! Pokoknya buat kita lo gak pantes menang, dasar tukang curang!” bentak Rina.
“Guys, silakan lakukan tugas kalian!” perintah Devi.
Aku mengeluarkan cutter dari kantong celanaku, lalu mengacungkannya tepat di depan wajah Harumi.
“Denger yah blay, kalo lo berani ngelawan, pentil lo gue potong pake
ini!” ujarku dengan nada yang dibuat seolah mengancam. Padalah belum
pernah aku mengancam orang seperti itu.
“Mmmmphhhh!” teriakan Harumi tersumbat oleh sapu tangan yang terikat
menutup mulutnya, sementara kami mulai mengikat kakinya supaya tidak
terus menendang-nendang. Ia semakin histeris saat aku mencengkeram
kaosnya dan mengarahkan cutter ke sana. Dengan kasar kusobek kaosnya
hingga bagian atas tubuhnya hanya tertutup bra warna putih yang berenda.
Aku berhenti sebentar sambil mengagumi pemandangan luar biasa di
depanku ini. Dua buah bukit indah yang putih mulus itu
berguncang-guncang saat pemiliknya meronta-ronta ingin melepaskan diri,
yang rupanya hanya menambah nafsu para penontonnya. Tidak sabar menanti
diriku yang hanya terbengong-bengong, Roy segera memeloroti celana
pendek Harumi, sementara Evan menarik bra Harumi hingga lepas. Kini
tubuh molek itu hanya ditutupi oleh celana dalam berwarna putih, dengan
pita pink yang tepat berada di atas kemaluannya. Tidak mau kecolongan
bagian yang paling mengasyikkan, aku segera memeloroti celana dalam itu
hingga ke lututnya. Kami mundur beberapa langkah untuk menyaksikan sang
bidadari kampus yang kini telanjang bulat sambil terus menangis dan
berusaha melepaskan diri, namun ikatan yang kami buat cukup kuat untuk
menahan dirinya.
“Ih jorok banget mekinya banyak bulu gitu, cantik-cantik kok males
cukuran sih,” ujar Rina sambil tertawa-tawa. “Nih gue punya silet,
tolong cukurin dong, Van!” lanjut Rina, sambil menyerahkan sebuah silet
ke tangan Evan. Evan pun langsung mendekatkan kepalanya ke depan
selangkangan Harumi, kemudian mengendus aroma organ kewanitaannya itu.
Lalu dengan kasar ia mulai mencukur rambut kemaluan Harumi, tanpa
mengoleskan krim dan tanpa belas kasihan. Badan Harumi yang senantiasa
menggelinjang membuat ujung silet yang tajam itu melukai kulit Harumi,
namun nampaknya hal tersebut membuat Evan semakin menikmati
pekerjaannya, demikian juga dengan para penonton. Dalam beberapa menit,
kami dapat melihat garis tipis di selangkangan Harumi yang tidak
ditutupi sehelai rambut pun. Benar-benar luar biasa pemandangan itu,
sungguh berbeda dengan punya pacarku yang bentuknya sudah amburadul.
Devi segera mengeluarkan HP-nya untuk mengabadikan momen itu, namun
segera dicegah oleh Mita. “Sebentar, gue punya aksesoris nih,” katanya.
Ia mengeluarkan sebuah mahkota perak yang terbuat dari plastik, lalu
meletakannya di kepala Harumi, membuatnya terlihat seperti di malam saat
ia memenangkan kontes kecantikan. Selain itu, Mita juga mengeluarkan
secarik kertas yang bertuliskan “Ayam Kampus”, namun ia kebingungan
untuk menempelkannya di tubuh Harumi.
“Nih, gue punya peniti,” ujar Rina seraya menyodorkan sebuah peniti ke
Mita. Mita menancapkan kertas itu ke peniti, lalu mendekatkannya ke
payudara Harumi. Kontan bidadari itu pun menggelengkan kepalanya dengan
keras dan berusaha untuk menjerit, namun usahanya sia-sia; Mita tetap
menancapkan peniti itu, menembus puting susu Harumi yang sebelah kanan.
Aku dapat mendengar jeritan Harumi yang membangkitkan gairahku, di saat
darah menetes dari puting susunya yang terluka. Tidak hanya Devi, kami
semua mengeluarkan HP untuk memotret si ratu kecantikan yang kini
telanjang bulat dan tidak berdaya, lengkap dengan mahkotanya, bahkan
dengan kertas “Ayam Kampus” yang menggantikan selendang “Juara I” yang
ia kenakan di malam kemenangannya. Cewek-cewek itu terlihat begitu puas
karena dapat mempermalukan saingannya itu.
“Sebentar lagi lo jadi artis bokep nih, semua anak di kampus bakal punya
foto bugil lo! Kalo perlu kita jual yah, emangnya lo doang yang bisa
buka online shop!” kata Devi.
“Jangan lupa cek IG kita ya sis, ada foto cewek Jepang bugil loh,” canda Rina, disambut dengan tawa teman-temannya.
“Dim, gue pinjem ikat pinggang lo dong,” ujar Mita.
“Buat apaan Mit?” jawabku, sembari melepaskan ikat pinggang.
“Gue pengen bikin adegan kayak di film Fifty Shades nih, kayaknya asik yah.”
“Wah ide bagus Mit!” sahut Devi. Para cewek itu pun segera meminjam ikat
pinggang kami. Karena tidak semuanya memakai ikat pinggang, beberapa
dari mereka mencari ranting atau rotan yang berserakkan di sekitar
pohon. Setelah semuanya mendapatkan cambuknya masing-masing, Mita mulai
memberi aba-aba.
“Satu… dua… tiga!”
“Ctarrrr!” lecutan ikat pinggang pertama mendarat di perut Harumi yang rata.
“Mmmphhhhhhhhh!” jeritan Harumi tertahan oleh sapu tangan yang membekap mulutnya.
“Gue pengen denger dia teriak dong. Bodo amat toh gak ada yang denger
kan di tengah hutan?” usul Deni. Semuanya menyetujui ide tersebut, lalu
Deni segera melepas sapu tangan dari mulut Harumi.
“Anjing lo semua! Gue laporin ke rektor lo semua! Gue bakal …”
“Ctarrrr!” ujung ikat pinggangku yang berbahan kulit itu kembali
mendarat di tubuh Harumi, kali ini di buah dadanya. Bukit putih mulus
itu kini dinodai oleh sebuah garis merah yang membentang dari puting
susu hingga ke pangkal payudaranya.
“AAAAAKKHHHH SAKITTTT ANJENGGG!”
“Makanya jangan berisik, blay! Coba pukul pake rotan, gue mau liat bedanya!” ujar Evan.
“Ctarrrr!” Rina mengayunkan batang rotan tipis di tangannya ke arah paha
Harumi. Kali ini bekasnya lebih dari sekedar garis merah, melainkan
luka lecet dengan warna merah yang lebih gelap.
“Sakit gilaaa, lepasin gueee!”
Tentu saja tidak ada yang menggubris permintaan gadis lugu itu. Jeritan
demi jeritan terus keluar dari mulutnya yang mungil tiap kali tubuhnya
yang mulus dilukai oleh sabuk dan rotan.
“Ssshhh... udah please stop, kalian mau minta apa aja gue kasih deh! Gue
gak bakal lapor siapa-siapa asal kalian lepasin gue tolonggg..” ujar
Harumi sambil menahan sakit yang mendera tubuhnya. Caci maki yang
tadinya ia lontarkan mulai berubah menjadi tawaran halus yang terkesan
mengiba, walaupun tetap saja sia-sia. Tidak mungkin kami melepaskan
bidadari ini begitu saja, sebelum kami menikmati tiap jengkal tubuhnya
yang sempurna, sebelum kami menggagahi setiap lubang yang bisa kami
manfaatkan.
Cewek-cewek itu juga semakin bernafsu mencambuki tubuh Harumi tanpa mau
gantian dengan kami para cowok. Merupakan suatu kebahagiaan bagi mereka
untuk menghancurkan tubuh yang konon katanya paling indah di kampus
kami. Namun tubuh molek itu kini tampak sangat mengenaskan, kulitnya
yang putih mulus dihiasi oleh garis-garis merah dan lecet-lecet,
beberapa luka bahkan hingga meneteskan darah. Sebelum tubuh itu semakin
tak karuan, aku segera menghentikan mereka.
“Udah woy, kalo sampe terlalu rusak entar gue gak nafsu pakenya ah.”
“Ah ga seru lo Dim,” ujar Rina. Sementara itu mata Harumi yang
berkaca-kaca menatapku dalam-dalam, seolah ingin berterimakasih. Namun
ia tidak tahu bahwa itu hanyalah permulaan dari pesta kami para cowok.
Kubalas tatapan itu dengan tatapan penuh nafsu, tatapan yang seakan
memperkosanya dari jauh. Tanpa basa-basi, Deni yang sudah booking untuk
giliran pertama segera melepaskan pakaiannya, lalu mendekati Harumi yang
masih terikat di pohon sambil menangis tersedu-sedu. Mulutnya mendekat
ke bibir Harumi yang sensual, lalu Deni mulai menciumi bidadari itu
dengan paksa, sementara tangannya meremas-remas payudara Harumi.
“Jangan please Den, gue masih perawan Den. Gue bisa nggak dianggep anak
kalo gini ceritanya, please..” tutur Harumi dengan lemah.
“Sekali lagi lo berisik, peniti ini gue pindahin ke meki lo ya!” bentak
Deni sambil mencabut peniti yang tadi digunakan untuk menancapkan kertas
ke puting susu Harumi. Gadisi itu hanya menggeleng pasrah sementara
Deni kembali melumat bibirnya, kemudian tangannya mulai mengusap-usap
kemaluan Harumi yang baru saja digunduli itu. Tidak lama kemudian, dapat
kulihat jari-jarinya mulai bermain di dalam liang vagina Harumi. Gadis
itu mulai mendesah tak karuan, kuyakin ini pertama kalinya ia dirangsang
seperti itu. Aku yakin pacarnya yang kuliah di luar negeri tidak pernah
sampai sejauh ini, ia kelihatannya seperti anak baik-baik. Kasihan
sekali cowok polos itu ketika tahu pacarnya yang cantik ini akan
kehilangan keperawanannya dengan cara yang menyedihkan. Bodo amat, pasti
cowok itu tidak dapat memberikan kenikmatan yang dapat kami berikan.
Permainan jari Deni di dalam liang vagina Harumi semakin liar. Mulai
dari satu jari, dua jari, hingga akhirnya seluruh jari Deni
mengobok-obok lubang yang kuyakin masih sangat sempit itu. Ekspresi
wajah Harumi sungguh luar biasa, antara menahan gairah dan menahan malu
karena ditontoni oleh teman-teman kampusnya. Harga dirinya pasti sudah
benar-benar hancur pada saat itu, terlihat dari matanya yang terus
mengucurkan air mata walaupun ia sedang mengalami kenikmatan yang
sebelumnya belum pernah ia rasakan.
Tiba-tiba Deni mengeluarkan jari-jarinya dari liang vagina Harumi, lalu menciumi jari-jarinya itu.
“Gila, udah basah banget dia! Baru juga bentar, dasar jablay amatir
hahahaha” ledeknya. “Nih, kalo ada yang mau cium meki Jepang wanginya
kayak gimana, cium tangan gue nih!”
Benar saja, Harumi mengalami orgasme pertamanya dalam hitungan beberapa
menit. Maklum, namanya juga baru pertama kali. Tapi dalam hati aku ingin
membuatnya sampai orgasme berkali-kali. Aku ingin membuat sampai
orgasmenya terasa menyakitkan. Namun aku harus menunggu giliranku
sementara Deni mulai menyodokkan batang penisnya ke dalam vagina Harumi.
“Akkkhhhh… jangannnn, pleaaaseeee!”
Deni mulai memompa penisnya dengan brutal, membuat tubuh Harumi
tersentak dan terbentur-bentur ke batang pohon di belakangnya.
Cewek-cewek segera mengeluarkan HPnya dan merekam adegan persenggamaan
itu dari berbagai sudut. Sementara para cowok mulai memegangi penis kami
dari balik celana, karena begitu menggairahkannya pemandangan di depan
kami. Deni mempercepat gerakannya, hingga tiba-tiba ia mendorong
pantatnya kuat-kuat agar penisnya semakin menancap di vagina Harumi dan
menembus selaput dara sang bidadari kampus itu.
“Gilaaa enak banget nih merawanin lonte Jepang.. ahhhh sempit bangettt” Deni mulai merancau penuh nikmat.
“Awwwwhhhh sakittt….sialann…akh..akhh..bangsat looo…akh..” sahut Harumi
di tengah desahan-desahannya yang tidak dapat ia tahan. Selain penisnya
yang semakin brutal, tangan Deni juga semakin brutal meremas dan
memilin-milin payudara Harumi yang membusung di hadapannya. Jari-jarinya
memencet-mencet puting susu Harumi yang tadi ditancapkan peniti, hingga
darah mulai keluar dari putingnya yang terluka itu. Deni juga
mengelus-elus luka bekas cambukan yang menghiasi payudara dan perut
Harumi, kadang-kadang ia juga mencubit luka yang masih terbuka sehinga
Harumi mendesis akibat rasa perihnya.
Beberapa kali Deni berhenti sejenak berusaha untuk menahan orgasme,
namun bidadari di hadapannya itu terlalu sulit untuk ditahan, hingga
akhirnya Deni memompa vagina Harumi dengan kecepatan maksimum sampai ia
mencapai orgasmenya. Ia menyemprotkan spermanya ke dalam vagina Harumi,
walaupun gadis itu telah memohon-mohon supaya Deni tidak mengeluarkan
spermanya di dalam. Tangisan Harumi kembali memecah kesunyian hutan itu
ketika Deni mencabut batang penisnya dari vagina Harumi. Dengan ekspresi
yang sangat kesal, Harumi meludah ke arah Deni hingga mengenai dadanya.
“Plakkk!” sebuah tamparan mendarat di pipi Harumi, hingga bibirnya
berdarah. “Kurang ajar yah lo cewek jalang! Udah gue kasih kenikmatan,
lo bales gue kayak begini?!” bentak Deni. Tersulut emosi, Deni memungut
peniti yang tadi ia lempar ke tanah, lalu berlutut dan menjepit klitoris
Harumi.
“Ahhh.. jangan, jangan, ampun gue gak maksud,” pinta Harumi setelah
menyadari apa yang akan dilakukan Deni. Deni tidak peduli, dengan sadis
ia menancapkan peniti itu hingga menembus bagian paling sensitif itu.
“Awwwwwhhhh sakitttttt!” pekik Harumi ketika peniti itu melukai
klitorisnya sampai mengeluarkan darah, bercampur dengan darah
keperawanan dan sperma yang keluar dari vaginanya. Senyum lebar
menghiasi wajah Devi dan teman-temannya. Pasti mereka merasa amat puas
karena telah memilih para berandalan sadis seperti kami untuk memberi
pelajaran kepada gadis malang yang menjadi musuhnya itu.
WARNING:
* Cerita-cerita ini memuat adegan pemerkosaan dengan unsur-unsur
penyiksaan/BDSM. Bagi yang kurang suka cerita panas dengan unsur
tersebut, mungkin bisa di-skip biar gak nyesel.
* Cerita-cerita ini asli karangan ane & belom pernah ane post di forum laen.
* Cerita-cerita ini hanya fiktif, kesamaan nama, tokoh, atau peristiwa adalah tidak disengaja.
* Thanks for reading!
0 comments:
Post a Comment